PERDAGANGAN
HANDPHONE BLACK MARKET
Latar
Belakang
Dalam
paper ini selanjutnya akan dilakukan analisis terkait dengan pertanggung
jawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen berupa
perdagangan handphone yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
oleh ketentuan yang berlaku di wilayah negara Indonesia atau lebih dikenal
dalam masyarakat dengan istilah sebagai handphone BM (Black Market) karena
tidak dilengkapi dengan garansi yang sah dari produsen resminya, begitu juga
terkait dengan berbagai asesorisnya yang tidak semuanya original atau merupakan
produk resmi dari produsen handphone tersebut namun merupakan asesoris ”aspal”
(asli tapi palsu) artinya bahwa memang asesoris seperti baterai, chasing dll
menggunakan merek yang sama dengan merek handphone tersebut namun bukan merupakan
produk resmi dari produsen merek handphone tersebut.
Kasus
yang akan digunakan sebagai bahan studi dalam paper ini adalah kasus tindak
pidana perdagangan handphone BM oleh Tersangka Ahmad Firdiansyah yang
penyidikannya dilakukan oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang. Dalam
perkara dimaksud sebenarnya terjadi dua kategori tindak pidana secara bersamaan
(concursus idealis), yaitu tindak pidana perlindungan konsumen (vide UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan tindak pidana di bidang
telekomunikasi (vide UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi), namun dalam
pembahasan tentang pertanggung jawaban pidana korporasi atas perkara dimaksud,
penulis hanya akan melakukan analisis terhadap pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen dikarenakan dalam UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menganut ajaran atau doktrin
tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, sedangkan di dalam UU No. 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi belum mengakomodir pertanggungjawaban pidana
korporasi.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini
yaitu : ”Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus perlindungan
konsumen dengan studi kasus perdagangan handphone BM oleh Tersangka Ahmad
Firdiansyah ?”
Persoalan
a. Doktrin-Doktrin
dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
b. Bagaimana
posisi kasus perdagangan handphone BM oleh Tersangka Ahmad Firdiansyah?
c.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perlindungan
konsumen pada kasus perdagangan handphone BM oleh Tersangka Ahmad Firdiansyah ?
Pembahasan
A. Doktrin-Doktrin
dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Sebelum
membahas tentang doktrin-doktrin yang dianut dalam pembebanan
pertanggungjawaban terhadap korporasi, maka tentunya perlu dipahami terlebih
dahulu tentang pengertian korporasi tersebut. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy
Sjahdeini, SH, korporasi dilihat dari bentuk hukumnya dapat diberi arti yang
sempit maupun arti yang luas. Menurut artinya yang sempit, korporasi adalah
badan hukum, sedangkan dalam artinya yang luas, korporasi dapat berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam
artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum
yang eksistensinya dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan
perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata, artinya hukum perdatalah yang
mengakui ”eksistensi” korporasi dan memberikannya ”hidup” untuk dapat atau
berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga
halnya dengan ”matinya” suatu korporasi secara hukum adalah apabila ”matinya”
korporasi itu diakui oleh hukum.
Sedangkan
dalam artinya yang luas, maka pengertian korporasi tersebut dilihat dari sudut
pandang hukum pidana. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas
daripada pengertiannya menurut hukum perdata. Dalam hukum pidana, korporasi
meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Badan hukum yang
dimaksudkan tersebut bukan saja seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi
atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan
sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, korporasi
dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa pun yang
bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.
Doktrin
tesebut semula dikembangkan berkaitan dengan konteks pertanggungjawaban
perbuatan melawan dalam hukum perdata yang selanjutnya diadopsikan ke dalam
hukum pidana. Penerapan doktrin tersebut hanya dapat dilakukan setelah dapat
dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi
kerja(empolyer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Tujuan dari
pemberlakuan doktrin tersebut adalah “deterrence” (pencegahan). Asumsinya yaitu
ketika seorang employer (pemberi kerja), yaitu korporasi, harus
bertanggungjawab untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para
pegawainya(employees) tanpa partisipasi langsung oleh pemberi kerja yang
bersangkutan dalam tindak pidana tersebut, tekanan akan dialami oleh pemberi
kerja untuk melakukan penyeliaan langsung dan secara teoritis timbulnya tindak
pidana tersebut berpotensi dapat tercegah (berkurang).
B. Posisi
Kasus Tersangka Ahmad Firdiansyah
Pada
tanggal 18 April 2008, penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang melakukan
penangkapan terhadap seorang pedagang handphone BM dengan kapasitas yang diduga
sebagai distributor di wilayah Kota Malang atas nama Ahmad Firdiansyah, di
rumahnya yang beralamat di Jl. Kumis kucing No. 13, Kel. Jatimulyo, Kec.
Lowokwaru, Kota Malang, yang digunakan sebagai tempat menyimpan, menjual atau
memperdagangkan hand phone BM (Black Market). Dalam penangkapan tersebut juga
dilakukan penggeledahan terhadap rumah milik Tersangka Ahmad Firdiansyah dan
telah ditemukan barang bukti berupa handphone dan berbagai asesoris Nokia BM,
sebagai berikut :
1) 29
(dua puluh sembilan) unit handphone merek Nokia, berbagai tipe.
2) 26
(dua puluh enam) buah charger merek Nokia.
3) 10
(sepuluh) buah Hansfree merek Nokia.
4) 26
(dua puluh enam) buah baterai merek Nokia.
5) 52
(lima puluh dua) buku petunjuk penggunaan handphone Nokia.
6) 58
(lima puluh delapan) dos handphone merek Nokia.
7) 103
(seratus tiga) lembar plastik pembungkus handphone merek Nokia.
8) 38
(tiga puluh delapan) buah mika pembungkus handphone merek Nokia.
9) 51
(lima puluh satu) lembar nomor IMEI palsu untuk handphone merek Nokia.
10) 3
(tiga) buku nota penjualan.
Berdasarkan
hasil penyidikan terhadap Tersangka Ahmad Firdiansyah diperoleh fakta bahwa
maksud dan tujuan tersangka menjual Hand Phone tanpa dilengkapi dengan kartu
jaminan garansi dalam bahasa Indonesia tersebut adalah untuk mencari keuntungan
yang lebih banyak dibandingkan apabila menjual handphone dengan garansi resmi.
Tersangka Ahmad Firdiansyah menerangkan bahwa handphone-handphone dan
asesorisnya tersebut didapatkan dengan cara membeli pada seseorang bernama
Hendrik yang beralamat di ITC Jakarta (alamat lengkap tidak tahu) yang
transaksinya dilakukan dengan cara Tersangka Ahmad Firdiansyah menelepon
terlebih dulu kepada Hendrik melalui nomor telepon 021.70011600, selanjutnya
Tersangka Ahmad Firdiansyah memesan beberapa handphone dan setelah disetujui
selanjutnya Hendrik mengirim sebagian uang untuk pembelian handphone tersebut
dengan cara transfer melalui bank Mandiri atas nama Hendrik. Setelah uang
ditransfer selanjutnya 3 (tiga) hari kemudian handphone dikirim melalui jasa
paket barang ke alamat rumah Jl. Kumis Kucing No. 13 Kota Malang.
Perkara
dimaksud telah selesai diadili di Pengadilan Negeri Malang dengan vonis
terhadap Ahmad Firdiansyah dinyatakan bersalah telah melakukan tindak
pidana“memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
perundang-undangan dan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai ketentuan perundang undangan yang berlaku”; dan/atau
“memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah RI yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis”,
sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 (ayat (1) huruf
a dan j UU RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo Kepmenperindag
RI No. 547/MPP/Kep/7/2002 tentang Pedoman Pendaftaran Petunjuk Penggunaan
(Manual) dan kartu jaminan/ Garansi dalam Bahasa Indonesia bagi Produk
Tehnologi Informasi dan Elektronika dan / atau Pasal 52 UU RI No. 36 tahun 1999
tentang Telekomunikasi jo Permenhub No. KM 10 Tahun 2005 tentang Sertifikasi
Alat dan Perangkat Telekomunikasi jo Kepmenhub No. KM 3 tahun 2001 tentang
Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Telekomunikasi. Vonis yang dijatuhkan
oleh hakim PN Malang terhadap tersangka dimaksud adalah berupa pidana penjara
selama 6 bulan dengan masa percobaan selama 3 bulan.
C.
Pertanggung jawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
Dalam
perkara tersebut, penyidik hanya melakukan penyidikan sebatas pada peran
Tersangka Ahmad Firdiansyah dan tidak melanjutkan penyidikan lebih jauh lagi
guna mengungkap pidana korporasi yang terjadi dimana seharusnya Hendrik juga
dapat menjadi tersangka bahkan sampai dengan pihak importir handphone tersebut
maupun mengungkap oknum-oknum pejabat kepabeanan yang terlibat dalam meloloskan
barang-barang dimaksud secara tidak sah sebagaiimana ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Menurut
pendapat penulis, dalam perkara dimaksud telah terjadi tindak pidana korporasi
dalam ruang lingkup tindak pidana perlindungan konsumen sebagaimana ketentuan
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana seharusnya penyidik
melanjutkan penyidikan guna mengungkap keterlibatan pihak-pihak diatas
Tersangka Ahmad Firdiansyah. Analisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana perlindungan konsumen dimaksud adalah sebagai berikut :
1.
Dalam pasal 1 butir ke-3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dinyatakan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut berarti bahwa subyek atau pelaku tindak pidana dalam tindak pidana
perlindungan konsumen tidak hanya orang perseorangan, namun juga korporasi,
yang didefinisikan sebagai “badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
2.
Dalam pasal 61 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan
bahwa “Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau
pengurusnya.”. Pasal tersebut mengandung ketentuan tentang sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen,
artinya dalam hal pertanggungjawaban korporasi, suatu badan usaha maupun
pengurusnya dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini berlaku
doktrin strict liability dan vicarious liability.
Berdasarkan
analisis pasal 1 butir ke-3 dan pasal 61 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut, maka penyidik dapat melanjutkan penyidikan
perkara dimaksud sampai pada tataran pelaku “diatas” Ahmad Firdiansyah yaitu :
1.
Hendrik selaku distributor yang menjual handphone BM kepada Ahmad Firdiansyah.
2.
Pihak-pihak yang mendistribusikan handphone BM kepada Hendrik, dalam hal ini
dapat saja pihak importir yang kemungkinan melakukannya maupun pihak lainnya
dibawah importir.
Namun
demikian, fakta yang didapati oleh penulis dari hasil penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang terhadap kasus tersebut adalah
“tidak disentuhnya” sama sekali para pelaku yang berperan sebagai distributor
terhadap Ahmad Firdiansyah. Hal tersebut nampak antara lain dalam berkas
perkara tersangka Ahmad Firdiansyah yang tidak memuat daftar nama-nama pelaku
lainnya yang posisinya berada diatas Ahmad Firdiansyah sebagai orang-orang yang
dinyatakan turut bertanggungjawab dalam kasus dimaksud atau dengan kata lain
bahwa daftar nama-nama tersebut tidak dimasukkan oleh penyidik dalam daftar
orang-orang yang dicari oleh kepolisian (DPO / Daftar Pencarian Orang).
Rangkaian
pelaku distribusi handphone BM tersebut, mulai dari Hendrik selaku distributor
langsung dari Ahmad Firdiansyah hingga pihak-pihak distributor lainnya yang
menyuplai handphone BM tersebut kepada Hendrik merupakan bentuk suatu korporasi.
Oleh karena itu dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana dapat diterapkan
doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi strict liability dan vicarious
liability..
Pembuktian
yang dapat ditempuh penyidik untuk dapat menjerat para pelaku dalam perkara dimaksud
yang posisinya berada diatas Ahmad Firdiansyah antara lain dapat dengan
menggunakan bukti-bukti seperti bukti transaksi tranfer antar rekenenin bank,
bukti sms pemesanan, dll.
Urgensi
bahwa penyidik seharusnya melakukan penyidikan kasus dimaksud hingga pada level
pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu :
1.
Agar terpenuhinya asas keadilan dimana yang dikenakan pertanggungjawaban pidana
tidak hanya pedagang / distributor di level hilir dalam hal ini Ahmad
Firdiansyah, namun juga terhadap pihak-pihak lain yang lebih turut
bertanggungjawab dalam peredaran handphone BM tersebut.
2.
Agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar baik terhadap masyarakat
maupun bagi pemerintah. Kerugian yang akan diderita masyarakat manakala
handphone BM tersebut mengalami kerusakan yang disebabkan bukan karena
pemakaian maka hal tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada
pihak penjual sehingga dalam hal ini masyarakat tidak mendapatkan perlindungan
dalam kapasitasnya sebagai konsumen. Sedangkan bagi pemerintah, peredaran
handphone BM tersebut berarti merugikan karena pemerintah tidak mendapatkan
pendapatan yang seharusnya didapatkan dari sektor pajak berupa bea masuk atas
barang- barang tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan
penyidikan perkara perdagangan handphone BM yang dilakukan oleh Ahmad
Firdiansyah tersebut sampai dengan tahapan penuntutan dan pengadilannya,
terbukti bahwa Ahmad Firdiansyah telah melakukan tindak pidana perlindungan
konsumen. Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang posisinya
berada diatas Ahmad Firdiansyah padahal dalam tindak pidana dimaksud
terjadi tindak pidana korporasi dalam ruang lingkup tindak pidana perlindungan
konsumen dimana para pelakunya memilik peran yang lebih penting daripada
Ahmad Firdiansyah sendiri, seperti misalnya Hendrik, dapat saja berperan
hanya sebagai distributor dari seorang importir handphone BM atau justru
merupakan importir itu sendiri yang melakukan penyelundupan barang-barang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar